Hubungan
Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Teori-Teori
Mengenai Hubungan Antara Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional[1][1].
Dua
teori utama yang dikenal adalah monisme dan dualisme, menurut teori monisme, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan aspek yang sama dari satu sistem hukum umumnya; menurut teori
dualisme, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum
yang sama sekali berbeda secara intrinsic (intrinsically) dari
hukum nasional. Karena melibatkan
sejumlah besar sistem hukum domestik, teori dualisme, kadang-kadang dinamakan
teori pluralistik, tetapi sesungguhnya istilah “dualisme” lebih tepat dan tidak
membingungkan.
1.
Teori Dualisme
Barangkali tepat mengatakan bahwa
para penulis hukum internasional (misalnya Suarez) tidak akan pernah
meragukan bahwa suatu konstruksi monistis dari dua sistem hukum merupakan
satu-satunya pendapat yang benar, dengan keyakinan bahwa hukum alam menentukan
hukum bangsa-bangsa dan keberadaan negara-negara. Akan tetapi pada abad
kesembilan belas dan kedua puluh berkembang tendensi kuat kearah pandangan
dualis, hal ini sebagian merupakan akibat doktrin-doktrin filsafat (misalnnya
dari Hegel) yang menekankan kedaulatan dari kehendak negara dan sebagian
lagi merupakan akibat munculnya pembuat Undang-Undang di negara-negara modern
dengan kedaulatan hukum intern yang lengkap.
menurut
Triepel, terdapat dua perbedaan fundamental di antara kedua sistem hukum
tersebut, yaitu:
a. Subyek-subyek hukum
nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek-subyek hukum internasional
adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya negara-negara.
b. Sumber-sumber hukum
keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehendak Negara itu sendiri,
sumber hukum internasional adalah kehendak bersama (Gemeinwille) dari
negara-negara.
Anzilotti menganut suatu pendekatan yang
berbeda; ia membedakan hukum internasional dan hukum nasioanal menurut
prinsip-prinsip fundamental yang mana masing-masing sistem itu ditentukan.
Dalam pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh
prinsip atau norma fundamental bahwa perundang-undangan negara harus ditaati,
sedangkan sistem hukum internasional ditentukan oleh prinsip Pacta Sunt Servanda, yaitu perjanjian
antara negara-negara harus di junjung tinggi.
Jadi
Teori ini menyatakan bahwa hukum internasional dan hukum nasional masing-masing
merupakan dua system yang berbeda satu sama lain. Lahirnya pandangan dualisme
ini karena dua factor penyebab, yaitu karena doktrin-doktrin filosofis yang
menandaskan kedaulatan kehendak negara dan tumbuhnya kedaulatan hukum intern
yang sempurna. Pandangan dualisme tersebut mempunyai sejumlah akibat yang
penting, yaitu:
-
Kaidah-kaidah dari
perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumberkan atau berdasarkan pada
perangkat hukum yang lain.
-
Tidak mungkin ada
pertentangan antara kedua perangkat hukum itu, yang ada hanya penunjukkan saja.
-
Ketentuan hukum
internasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional. Dengan kata lain
hukum internasional hanya berlaku setelah ditransformasikan dan menjadi hukum.
Keberatan terbesar terhadap teori dualisme adalah pemisahan
mutlak antara hukum nasional dengan hukum internasional tidak dapat menerangkan
secra memuaskan kenyataan bahwa dalam praktik sering hukum nasional itu tunduk
atai sesuai dengan hukum internasional.
2. Teori Monisme
Penulis-penulis modern yang
mendukung konstruksi monistik sebagian besar berusaha menemukan dasar pandangannya
pada analisis yang benar-benar ilmiah mengenai struktur intern dari
sistem-sistem hukum tersebut.
Berbeda dengan para penulis yang
menganut teori dualisme, pengikut –pengikut teori monisme menganggap semua
hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum
yang mengikat baik berupa kaidah yang mengikat negara-negara,
individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara.
Namun ada
penulis-penulis lain yang mendukung monisme berdasarkan alasan-alasan yang bukan
cuma abstrak semata-mata, dan penulis-penulis tersebut menyatakan, sebagai
suatu masalah yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum internasional dan hukum
nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan kaidah hukum universal yang
mengikat segenap umat manusia baik secara kolektif ataupun individual. Dengan
perkataan lain, individu-lah yang sesungguhnya menjadi akar kesatuan dari semua
hukum tersebut.
Penganut
teori monoisme berpendapat bahwa hukum internasional dan hukum
nasional merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan pada satu struktur hukum. Akibat dari pandangan ini adalah bahwa antara keduanya mungkin ada hubungan hierarki. Persoalan hierarki inilah yang melahirkan dua pandangan yang berbeda dalam teori monoisme berkenaan dengan masalah penekanan/pengutamaan. Satu pihak menyatakan monoisme dengan mengutamakan (primat) hukum nasional, dan pihak lain dengan pengutamaan (primat) hukum internasional.
Menurut pandangan monoisme dengan primat hukum nasional, maka hukum nasional tidak lain adalah sebagai kelanjutan dari hukum nasional belaka, atau tidak lain adalah bahwa hukum internasional itu merupakan hukum nasional untuk urusan-urusan luar negeri. Ini berarti bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional, alasannya adalah:
nasional merupakan bagian-bagian yang saling berkaitan pada satu struktur hukum. Akibat dari pandangan ini adalah bahwa antara keduanya mungkin ada hubungan hierarki. Persoalan hierarki inilah yang melahirkan dua pandangan yang berbeda dalam teori monoisme berkenaan dengan masalah penekanan/pengutamaan. Satu pihak menyatakan monoisme dengan mengutamakan (primat) hukum nasional, dan pihak lain dengan pengutamaan (primat) hukum internasional.
Menurut pandangan monoisme dengan primat hukum nasional, maka hukum nasional tidak lain adalah sebagai kelanjutan dari hukum nasional belaka, atau tidak lain adalah bahwa hukum internasional itu merupakan hukum nasional untuk urusan-urusan luar negeri. Ini berarti bahwa hukum internasional itu bersumber pada hukum nasional, alasannya adalah:
-
Bahwa tidak ada organisasi
di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara di dunia ini.
-
Dasar hukum internasional
yang mengatur hubungan internasional adalah terletak di dalam wewenang
negara-negara untuk mengadakan perjanjian-perjanjian internasional, jadi
wewenang konstitusional.
Faham monoisme dengan primat hukum nasional ini
mempunyai sejumlah kelemahan, yaitu:
-
Faham ini terlalu
memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis semata-mata sebagai hukum-hukum
internasional dianggap hanya hukum yang bersumber perjanjian internasional,
suatu hal yang jelas tidak benar.
-
Bahwa pada hakekatnya
faham monoisme denagn primat hukum nasional ini merupakan penyangkalan atas
adanya hukum internasional yang mengikat negara-negara. Sebabnya, jika
terikatnya negara-negara pada hukum internasional digantungkan kepada hukum
nasional, ini sama saja dengan menggantungkan berlakunya hukum internasional
atas kemauan negara iru sendiri. Keterikatan ini dapat ditiadakan jika negara
mengatakan tidak ingin lagi terikat pada hukum internasional.
Menurut faham monoisme dengan primat hukum internasional,
maka hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional, yang menurut
pandangan ini merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hierarkis lebih
tinggi. Menurut faham ini, hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan
pada hakikatnya kekuatan mengikatnya berdasarkan suatu pendelegasian wewenang
dari hukum internasional.
Faham
monoisme dengan primat hukum internasional inipun tidak luput dari kelemahan.
Adapun kelemahan faham monoisme dengan primat hukum internasional adalah:
-
Pandangan bahwa hukum
nasional itu tergantung dari hukum internasional, yang berarti mendalikan bahwa
hukum internasional telah ada terlebih dahulu dari hukum nasional bertentangan
dengan kenyataan sejarah. Berdasarkan kenyataan sejarah, hukum nasional telah
ada sebelum adanya hukum internasional.
-
Dalil bahwa hukum nasional
itu kekuatan mengikatnya diperoleh dari hkum internasional tidak dapat
dipertahankan. Menurut kenyataannya, wewenang-wewenang suatu negara nasional
misalnya yang bertalian dengan kehidupan antara negara seperti misalnya
kompetensi untuk mengadakan perjanjian internasional, sepenuhnya wewenang hukum
nasional.
3.
Teori Koordinasi
Hukum
Internasional dan Hukum Nasional memiliki lapangan berbeda, sehingga memiliki
keutamaan dilapangan masing-masing
4.
Teori Transformasi
Menurut
teori transformasi, hukum internasional tidak akan pernah berlaku sebelum
konsep, kaedah dan prinsip-prinsip hukumnya belum menjadi bagian dari prinsip
atau kaedah-kaedah hukum nasional. Agar dapat berlaku, maka prinsi-prinsip
hukum internasional harus terlebih dahulu menjadi bagian dari prinsip-prinsip hukum
nasional. Misalnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok
Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi dari hukum Lingkungan
Internasional, yaitu Deklarasi Stockholm 1972. Demikian pula dengan
Undang-Undang pembaharuannya, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Lingkungan Hidup sebagai hasil transformasi Deklarasi Rio 1992.
Proses
transformasi ini dilakukan dengan melakukan perubahan terhadap Undang-undang.
Perubahan dapat dilakukan dengan melakukan penambahan, pengurangan atau pembaharuan
secara keseluruhan terhadap isi Undang-undang dan menggantikannya dengan yang
baru. Proses perubahan tunduk dan diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum
ketatanegaraan yang mekanisme kerjasamanya dengan pembuatan Undang-undang,
yaitu dilakukan dengan melakukan pengajuan oleh DPR/DPRD atau presiden.
Sebagaimana yang telah terjadi di Negara-negara lain yang memiliki proses yang
sama:
5. Teori
Adopsi
Teori
adopsi, cara berfikirnya sangat sederhana. Hal ini sangat tergantung dari
kemauan hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip Hukum Internasional dalam
menyelesaikan kasus-kasus nasional.
“a
judge is entitle to resort to a rule of international law without requiring
that it be consciously promulgate by the sovereign as one municipal law”
(Hakim berhak menggunakan
ketentuan-ketentuan hukum internasional tanpa terlebih dahulu diumumkan oleh
Negara atau pengadilan dari suatu Negara).
6. Teori
Delegasi
Berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum internasional setelah didelegasikan ke hukum nasional
yang dapat dilegalkan dengan pencantuman kaedah-kaedah hukum internasional
kedalam berbagai peraturan perundang-undangan nasional atau dengan menerapkan
kaedah-kaedahnya dalam memutus atau menyelesaikan sengketa nasional.
R.C. Hingorani menjelaskan:
R.C. Hingorani menjelaskan:
7. Teori
Harmonisasi
D.P.O.
Connell menggambarkan teori ini melalui suatu pernyataan yang berbunyi:
“the theory of harmonization assumes that international law, as a rule of human behavior, form part of municipal law and hence is available to a municipal judge; but in the rare instance conflict between the two system theory acknowledges that he is obligade by his jurisdictional rules”
“the theory of harmonization assumes that international law, as a rule of human behavior, form part of municipal law and hence is available to a municipal judge; but in the rare instance conflict between the two system theory acknowledges that he is obligade by his jurisdictional rules”
(teori harmonisasi menganggap bahwa
hukum internasional sebagai hukum yang mengatur tingkah laku bagian hukum
internasional dan diatur oleh hukum nasional, tetapi teori ini juga mengakui
adanya konflik antar kedua hukum tersebut).
Berdasarkan
pendapat diatas, titik tolak teori harmonisasi adalah “tingkah laku atau
tindakan” yang sama antara hukum internasional dengan hukum nasional dengan
batas-batas dan kewenangan yang berbeda.
Dari berbeagai penuturan diatas
dapat di simpulkan bahwa hukum internasional dan hukum nasional memiliki
persamaan dan perbedaan baik dalam cara pandang maupun bagaimana keduanya
menjatuhkan sanksi-sanksi kepada setiap pelanggar hukum.
Perbedaan
Hukum Internasional dan Hukum Nasional
1.
Objek pengaturan
2.
Model atau bentuk yang berbeda
3.
Kedudukan Subjek
Penerapan
Hukum Internasional di Tingkat Nasional
1.
Doktrin Inkorporasi
Hukum Internasional dapat langsung menjadi bagian dari Hukum
Nasional
contoh : Negara meratifikasi traktat
2.
Doktrin Transformasi
Adanya Hukum Internasional dalam Hukum Nasional harus dilakukan
transformasi terlebih dahulu
Penerapan Dalam Praktek
1.
Amerika Serikat
Kebiasaan
-
Menyerupai praktek di Inggris
-
Penentuan dilakukan oleh Pengadilan
Federal dan mengikat negara bagian
Traktat
-
Traktat yang dibuat oleh Pemerintah
AS harus menjadi hukum tertinggi
-
Presiden hanya dapat meratifikasi
dalam hal terdapat persetujuan dari 2/3 suara Senat
-
Membedakan Traktat dalam 2 golongan
a.
Berlaku dengan sendirinya
b.
Tidak berlaku dengan sendirinya
Penerapan di Eropa
1.
Belanda
Hukum Internasional
1.
Parlemen memiliki hak kontrol yang
kuat
2.
Kedudukan hukum perjanjian
internasional lebih utama dari Hukum Nasional
Treaty
1.
Diperlukan persetujuan dari 2/3
suara
2.
Memiliki kekuatan di atas hukum
lokal
Penerapan
di Eropa
Perancis
Traktat
-
Traktat yang telah diratifikasi dan
dipublikasikan dapat berlaku sebagai Hukum Nasional
-
Jika terdapat pertentangan antara
Traktat dan Konstitusi maka untuk meratifikasi hanya dapat dilakukan setelah
Konstitusi dilakukan penyesuaian
Penerapan di Eropa
1.
Jerman
Hukum Internasional
-
Posisi Hukum Internasional diatas
Hukum Nasional
-
Menggunakan istilah General Rule
Traktat
-
Keterlibatan secara langsung
parlemen Jerman
-
Peran sentral Pengadilan dalam
pemberlakuan traktat
2.
Indonesia
a.
Hukum Kebiasaan Internasional
-
Belum ada sikap yang tegas
Misalnya saja : Hak lintas damai dan
Lebar laut teritorial
Dasar Hukum :
1.
UUD 1945 Pasal 11
2.
UU Nomor 37 Tahun 1999=>Hubungan
Luar Negeri
3.
UU Nomor 24 Tahun
2000=>Perjanjian Internasional
Prakteknya : Dilakukan oleh Menteri Luar Negeri
Dasar Hukum : Keppres No. 102/2001 Pasal 6 & 7